Oleh
Ahmad Syafi’i
Anggota DPW AMPHIBI Jawa Timur
OPINI – Di Indonesia, masalah sampah seolah menjadi lingkaran setan yang tak berujung. Alih-alih menjadi solusi, Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) yang seharusnya menjadi garda terdepan penanganan sampah, seringkali malah berakhir sebagai monumen kegagalan. Pertanyaannya, mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya tak lepas dari jalinan kusut antara manajemen yang amburadul dan, yang paling memprihatinkan, potensi keterlibatan oknum-oknum nakal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
TPST dirancang untuk menjadi fasilitas holistik, tempat sampah dipilah, didaur ulang, bahkan diubah menjadi energi. Namun, realitasnya jauh panggang dari api. Banyak TPST yang kita lihat hari ini tak lebih dari tempat penampungan sampah sementara yang kemudian berakhir di TPA, persis seperti sistem lama. Masyarakat sudah mulai sadar untuk memilah sampah di rumah, tapi kesadaran itu kerap kandas ketika melihat kenyataan di lapangan: sampah yang sudah dipilah malah dicampur lagi di TPST. Ini jelas memadamkan semangat partisipasi publik dan menciptakan rasa apatis.
Salah satu akar masalah terbesar adalah manajemen yang tidak profesional dan transparan. Dana besar yang digelontorkan untuk pembangunan dan operasional TPST seringkali tidak diimbangi dengan perencanaan yang matang dan pengawasan yang ketat. Teknologi yang tidak sesuai, kapasitas yang tidak memadai, serta sumber daya manusia yang kurang terlatih menjadi hambatan klasik. Namun, di balik semua itu, ada bisikan-bisikan tentang praktik kotor yang melibatkan oknum tertentu.
Ketika ada celah dalam pengawasan dan akuntabilitas, oknum-oknum ini melihatnya sebagai peluang. Mulai dari dugaan penggelembungan dana proyek, manipulasi laporan volume sampah, hingga praktik pungutan liar atau “setoran” dari pengumpul sampah, semua ini bisa merusak sistem dari dalam. Alih-alih fokus pada optimalisasi pengolahan sampah, perhatian malah terpecah pada kepentingan pribadi atau kelompok. Dampaknya? TPST tidak berfungsi maksimal, kapasitasnya cepat penuh, dan pada akhirnya, sampah kembali menumpuk di mana-mana, mencemari lingkungan, dan mengganggu kesehatan masyarakat.
Untuk memutus lingkaran setan ini, dibutuhkan langkah revolusioner. Pertama, penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu terhadap oknum-oknum yang bermain dalam proyek TPST. Audit forensik terhadap anggaran dan operasional TPST perlu dilakukan secara berkala dan hasilnya harus dipublikasikan. Kedua, transparansi total dalam setiap aspek pengelolaan TPST, mulai dari perencanaan, pengadaan, hingga operasional harian. Masyarakat harus dilibatkan dalam pengawasan. Ketiga, investasi pada teknologi yang tepat guna dan berkelanjutan, bukan sekadar mengikuti tren, serta peningkatan kapasitas SDM yang profesional.
Jika kita ingin melihat TPST benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar proyek mangkrak atau ladang basah bagi oknum, maka kita harus berani membersihkan “duri dalam daging” ini. Sudah saatnya kita serius menangani sampah, demi lingkungan yang lebih bersih dan masa depan yang lebih sehat bagi anak cucu kita di seluruh Indonesia. Ini pendapat saya lalu bagaimana menurut Anda langkah paling mendesak yang harus diambil pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengatasi masalah ini? Katakan sejujurnya.