1. Dasar Hukum Terkait Kebisingan (Polusi Suara)*
Dalam hukum positif Indonesia, kebisingan yang melebihi ambang batas diatur dalam beberapa peraturan, antara lain:
– *UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup* (Pasal 20, 21, 69):
– Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang menimbulkan pencemaran kebisingan melebihi baku mutu.
– Pelanggar dapat dikenai sanksi administratif atau pidana (Pasal 98).
– *Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan:*
– Menetapkan ambang batas kebisingan untuk kawasan permukiman (55 dB siang, 45 dB malam).
– Jika suara melebihi batas, dapat dikategorikan sebagai gangguan lingkungan.
– *Perda Provinsi/Kabupaten tentang Ketertiban Umum:*
– Biasanya mengatur jam operasional kegiatan yang menimbulkan suara keras (misal: larangan setelah pukul 22.00).
*Jika “sound horeg” melebihi ambang batas dan mengganggu kesehatan (misal: merusak pendengaran), maka dinas lingkungan hidup berwenang menindak berdasarkan aturan ini.*
*2. Perspektif Hukum Islam & Fatwa MUI*
– *Prinsip Umum:*
– Islam melarang segala bentuk *mudarat* (bahaya) bagi diri sendiri atau orang lain (Hadis: *La darar wa la dirar”*).
– Jika “sound horeg” menimbulkan gangguan kesehatan (misal: kerusakan gendang telinga) atau mengganggu ketenangan masyarakat, maka dapat dianggap *haram* karena termasuk *perbuatan sia-sia (laghwun) atau membahayakan*.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
– *Perbandingan dengan Acara Pengajian:*
– Jika pengajian menggunakan sound system kencang tetapi *tidak melebihi ambang batas kebisingan dan tidak mengganggu*, maka tidak masalah.
– Namun, jika volumenya sama-sama melampaui batas, maka *keduanya bisa dianggap melanggar*, baik dari sisi hukum lingkungan maupun syariah.
– *Fatwa MUI tentang Hiburan:*
– MUI tidak secara spesifik mengeluarkan fatwa tentang “sound horeg”, tetapi ada *fatwa terkait musik dan hiburan* (Fatwa MUI No. 62/2010 tentang Musik & Lagu):
– Hiburan yang mengandung *unsur maksiat (mabuk, pornografi, kekerasan)* diharamkan.
– Jika “sound horeg” dikaitkan dengan hal-hal seperti tarian tidak senonoh, mabuk-mabukan, atau mistis yang bertentangan dengan akidah, maka bisa dianggap haram.
– Namun, jika hanya sekadar suara keras tanpa unsur maksiat, *hukumnya kembali pada dampaknya (mudarat atau tidak).*
*3. Pro-Kontra & Solusi*
– *Sumber Konflik:*
– *Subjektivitas Penilaian:*
– Ada yang menganggap “sound horeg” sebagai hiburan biasa, sementara lainnya melihatnya sebagai gangguan atau sarana maksiat.
– *Standar Kebisingan:*
– Jika tidak ada pengukuran baku oleh dinas terkait, sulit menentukan apakah benar melampaui ambang batas.
– *Solusi Hukum:*
1. *Penegakan Aturan Lingkungan:*
– Dinas Lingkungan Hidup harus mengukur tingkat kebisingan. Jika melanggar, bisa diberikan sanksi teguran hingga pencabutan izin.
2. *Pendekatan Syariah:*
– Ulama setempat bisa memberikan edukasi tentang dampak negatif kebisingan dari sudut pandang Islam (mudarat, mengganggu ibadah, dll).
3. *Kompromi Sosial:*
– Pembatasan jam operasional atau penggunaan sound system yang tidak melampaui batas wajar.
*Kesimpulan*
1. *Dari Sisi Hukum Positif:*
– “Sound horeg” bisa dikenai sanksi jika terbukti melanggar aturan kebisingan (UU Lingkungan Hidup/Perda).
2. *Dari Sisi Hukum Islam:*
– Tidak ada fatwa khusus MUI tentang “sound horeg”, tetapi jika mengandung mudarat/maksiat, bisa diharamkan.
– Suara keras yang mengganggu kesehatan atau ketertiban umum termasuk dilarang dalam Islam.
3. *Solusi:*
– Perlu pengukuran ambang kebisingan oleh dinas terkait.
– Sosialisasi dampak polusi suara dari sisi kesehatan dan agama.
*Jika tidak ada unsur maksiat tetapi volumenya mengganggu, penanganannya lebih tepat ke hukum lingkungan daripada fatwa keharaman.* Namun, jika ada unsur negatif (seperti mabuk, tarian tidak senonoh), maka MUI setempat bisa mengeluarkan rekomendasi pelarangan.
Semoga Bermanfaat dan menjadi dasar untuk DLH Propinsi Jawa Timur melakukan langkah hukum konkrit.
Sidoarjo, 25 Juli 2025.(Red).