
Surabaya – Amphibinews.Com – Insiden protes terjadi di tengah pembukaan konferensi ‘Indonesia Critical Minerals Conference & Expo 2025’ di Hotel Pullman, Grogol Petamburan, Jakarta, Selasa (3/6). Sejumlah warga Raja Ampat dan aktivis Greenpeace Indonesia melakukan aksi membentangkan spanduk dan berorasi, menyoroti dampak buruk ekspansi tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Menurut informasi yang dibagikan oleh akun TikTok @inilah.com, dan didukung oleh pemberitaan dari beberapa media bereputasi lainnya, para pengunjuk rasa menyuarakan penolakan keras terhadap rencana penambangan atau kegiatan yang berpotensi merusak ekosistem laut yang rapuh dan keanekaragaman hayati unik di Raja Ampat. Mereka membawa spanduk dan poster yang menyoroti pentingnya perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat.
Informasi Shela Octavia dan Novianti Setuningsih, Kompas.Com (7/6/2025), dan Raden Putri Alpadillah Ginanjar et.all, Tempo.Co (5/6/2025); Aksi tersebut dilakukan oleh empat pemuda Papua bersama aktivis Greenpeace, yang menyampaikan kekhawatiran atas kerusakan ekologis akibat aktivitas pertambangan nikel di pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Berdasarkan penelusuran Greenpeace, aktivitas tambang di pulau-pulau tersebut telah mengakibatkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan, serta sedimentasi yang membahayakan ekosistem laut, terutama terumbu karang yang menjadi daya tarik utama pariwisata dan sumber penghidupan masyarakat lokal.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menegaskan bahwa penerbitan izin lima perusahaan tambang di Raja Ampat telah melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang penambangan di pulau kecil. Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia, Kiki Taufik, menambahkan, “Ekspansi tambang nikel telah menyebabkan kerusakan ekologis signifikan di beberapa wilayah Indonesia dan kini mulai mengancam Raja Ampat, kawasan geopark global dan destinasi wisata bawah laut terpopuler dunia”.
Aksi protes tersebut berujung pada penangkapan tiga aktivis Greenpeace dan satu pemuda Papua oleh aparat keamanan. Mereka sempat dimintai keterangan lebih lanjut sebelum akhirnya dilepaskan. Pemerintah, melalui Wakil Menteri Luar Negeri Arif Havas Oegroseno, menyayangkan cara protes yang dinilai kurang dewasa, namun menegaskan bahwa hilirisasi pertambangan harus memberikan manfaat bagi masyarakat setempat.
Menanggapi insiden ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, memutuskan untuk menghentikan sementara kegiatan operasional tambang nikel di Raja Ampat, sembari menunggu evaluasi lebih lanjut.
Ketua DPW AMPHIBI Jawa Timur, Samsul Hadi, S.O., menyatakan dukungan penuh terhadap upaya penegakan hukum atas perusakan lingkungan secara umum dan khususnya terhadap insiden yang memicu reaksi protes warga di wilayah tersebut dan aktivis Greenpeace.
“Kami mendukung langkah-langkah penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jika benar terjadi kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan di Raja Ampat, maka pemulihan wilayah harus menjadi prioritas utama, dan pihak-pihak yang terbukti bersalah harus bertanggung jawab secara pidana, perdata, maupun administratif. Penegakan hukum lingkungan sangat penting untuk memastikan kelestarian alam dan perlindungan hak-hak masyarakat setempat,” ujar Samsul Hadi Sabtu, (7/6/2025).
Samsul Hadi juga menekankan bahwa penegakan hukum pidana dapat dilakukan jika sanksi administratif dan perdata tidak efektif, serta pemulihan lingkungan harus dilakukan untuk mengembalikan fungsi ekosistem yang terdampak.
Insiden ini menjadi sorotan nasional dan internasional, mengingat Raja Ampat merupakan kawasan konservasi laut dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, sekaligus ikon pariwisata Indonesia yang harus dijaga dari ancaman kerusakan lingkungan. (Red)