Oleh
SUTARJO, S.H., M.H.
Staff Ahli AMPHIBI Jawa Timur
OPINI – Amphibinews.Com – Mengutip artikel pada cna.id, publish pada 25 Jul 2025 09:21AM dan diperbarui pada: 25 Jul 2025 09:30AM lalu. Dikatakan bahwa; Fenomena sound horeg kian populer untuk acara hajatan hingga pentas seni jalanan di sejumlah daerah. Pertunjukkan ini identik dengan dentuman musik yang menggelegar menggunakan speaker raksasa berdaya tinggi, lengkap dengan efek lampu strobo dan asap buatan yang menambah sensasi pesta.
Namun, di balik kemeriahan tersebut, muncul kegelisahan dari masyarakat yang merasa terganggu oleh kebisingan ekstrem yang ditimbulkan. Suara yang dihasilkan sound horeg tidak hanya menggetarkan kaca rumah, tetapi juga mengguncang dada orang yang berada di sekitar lokasi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pakar kesehatan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, dr. Gina Noor Djalilah Sp.A., M.M., menjelaskan bahwa tingkat kebisingan sound horeg mencapai 120-135 dB, jauh di atas batas aman yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sebagai perbandingan, konser musik live biasanya berada di kisaran 110-120 dB, sementara mesin jet dari jarak dekat bisa menembus 140 dB. “Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan tingkat kebisingan tidak lebih dari 70 dB. Sementara paparan di atas 85 dB sudah berisiko merusak jika terpapar dalam waktu lama. Suara sound horeg jauh melampaui batas itu,” kata dr. Gina, dikutip cna.id dari Detik.
Terdapat isu yang bisa kita cermati bagaimana norma hukum terkait dengan fenomena sound horeg. Untuk menelisik norma hukum terkait sound horeg kita dapat meninjau dari berbagai segi, di antaranya:
1. Norma perlindungan lingkungan hidup
Terdapat perangkat perlindungan lingkungan terkait Izin Gangguan. Izin gangguan adalah surat keterangan yang menyatakan tidak keberatan gangguan atas lokasi usaha yang dijalankan yang berupa ijin HO. Gangguan itu bisa berupa polusi suara. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.
Disebutkan pada pertimbangan diktum: a. bahwa untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup agar dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, setiap usaha atau kegiatan perlu melakukan upaya pengendalian pencemaran dan atau perusakan lingkungan.
Kemudian pada Pasal 6 ayat (1) disebutkan; Setiap penanggung jawab usaha atau kegiatan wajib a. mentaati baku tingkat kebisingan yang telah dipersyaratkan, b. memasang alat pencegahan terjadinya kebisingan. Pasal 6 ayat (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam izin yang relevan untuk mengendalikan tingkat kebisingan dari setiap usaha atau kegiatan yang bersangkutan.
Baku Tingkat Kebisingan pada Lampiran KEP-48/MENLH/11/1996 berkisar disebutkan antara 55 DB sampai 70 DB. Dan jika kebisingan atau polusi suara yang ditimbulkan berada pada satu titik tempat usaha maka pengusaha wajib memiliki ijin HO.
2. Norma UULLAJ
Jika sound horeg tersebut berjalan melalui jalan umum maka pengusaha atau pemilik sound horeg wajib memperhatikan norma hukum di jalan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Pasal 48 (1) menyebutkan: Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. Ayat (3) menyebutkan: Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas: huruf b. kebisingan suara; angka (4) disebutkan: Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 279 menyebutkan: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Pasal 305 menyebutkan: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan tentang persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, waktu operasi dan rekomendasi dari instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf g barang yang diangkut e, atau huruf f dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pada ketentuan mengenai kebisingan suara menurut penulis memang dapat ditafsirkan suara yang ditimbulkan asli dari suara kendaraan bermotor. Akan tetapi kepolisian dapat menafsirkan bahwa barang yang diangkut juga harus memenuhi ketentuan. Manakala barang yang diangkut ternyata melanggar hukum dalam hal ini melanggar hukum lingkungan maka kendaraan tersebut bersalah karena jenis barang yang diangkut. Dan spesifikasi suara ternyata sudah bukan asli dari suara kendaraan maka dipastikan tidak ada ijin kebolehan membawa barang yang melanggar hukum .
3. Mekanisme Ijin Keramaian
Di lain pihak manakala sound horeg tersebut dibunyikan di tempat sebuah even acara maka terdapat aturan mengenai ijin penyelenggaraan acara.
Aturan izin keramaian biasa tertuang dalam Juklap Kapolri No. Pol/02/XII/95 tentang Perjanjian dan Pemberitahuan Kegiatan Masyarakat. Kategori ini dikeluarkan untuk acara-acara seperti kegiatan pentas musik band, wayang kulit, ketoprak, dan pertunjukan lainnya.
Pihak Kepolisian dengan memperhatikan Juklap Kapolri maka memiliki kewenangan untuk memberikan ijin atau tidak atas ijin yang diajukan manakala salah satunya mengenai aspek kebisingan.
Mengenai polusi suara yang melebihi ambang batas baku mutu dapat di klasifikasikan:
- Kebisingan suara berada di suatu titik karena sebuah kegiatan usaha maka wajib memiliki ijin HO.
- Jika kebisingan tersebut hanya waktu tertentu karena sebuah event maka diperlulan ijin keramaian.
- Jika kebisingan tersebut terjadi dijalan karena sebuah perjalanan atau dipertontonkan di jalan maka wajib mematuhi UULLAJ
Terhadap kebisingan yang terjadi di jalan pihak Kepolisian dapat bertindak aktif untuk menegakkan pelanggaran UULLAJ. Sedangkan jika terdapat pada even maka pihak kepolisian yang berwenang menjaga ketertiban maka dapat menolak permohonan ijin keramaian. Jika dengan alasan polisi hanya diberitahukan adanya kegiatan maka atas jabatan dan kewenangnnya dapat menghentikan acara ketika terjadi pelanggaran hukum yang merugikan. Pelanggaran hukum tersebut adalah suara yang melebihi ambang batas baku mutu.
Mengingat ternyata belum ada norma yang secara khusu mengatur tentang Sound Horeg maka perlu peraturan secara spesifik mengenai adanya larangan polusi suara baik di tempat satu titik, di jalan maupun pada even tertentu. Pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan memberikan delegasi kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk membuat peraturan tersebut. Yang perlu diperhatikan adalah norma yang dapat menimbulkan pertanggung jawaban pidana memang harus dibuat Perda tidak cukup dengan surat keputusan Gubernur. Akan tetapi jika belum ada Perda maka pihak kepolisian tetap dapat menjerat dengan UU Lingkungan Hidup karena adanya tentang polusi suara. Tentu saja dengan mekanisme penegakkan Hukum Lingkungan yang sudah ada dengan memperhatikan keterangan dari Dinas terkait sebagai pendapat ahli.
Yang perlu juga dipertimbangkan dalam penegakan hukum dengan adanya asas pembinaan lebih dikedepankan dibanding penghukuman, matau penerapan hukum pidana adalah ultimum remidium atau sanksi hukum terakhir, maka penerapan hukum administrtatif lebih tepat dari pada penerapan hukum pidana. Apalagi terdapat asas hukum tidak boleh menggunakan analogi dalam penerapan hukum pidana serta adanya asas legalitas yaitu tidak ada pelanggaran kecuali ada hukum yang mengatur, maka sebelum adanya perda yang jelas maka pemidanaan belum perlu diterapkan.
Demikian semoga bermanfaat, Salam Amphibi, Salam kelestarian lingkungan hidup, Amphibi! Hadirkan solusi! Yes…, Yes…, Yes…





















